Minggu, 17 Maret 2013

Seni mushaf Nusantara

Seni mushaf Nusantara dari masa ke masa
Ali Akbar - aliakbarkaligrafi@yahoo.com

Mushaf Al-Qur'an disalin sesuai dengan ruang dan waktu mushaf itu dibuat. Atau dengan kata lain, sesuai dengan latar budaya dan kondisi zamannya. Lokalitas budaya tempat mushaf disalin merupakan faktor yang ikut menentukan dan mempengaruhi variasi bentuk, motif dan warna iluminasi – demikian pula gaya kaligrafinya, dalam taraf tertentu.

Unsur kreativitas lokal, sebagai hasil serapan budaya setempat, terlihat dalam corak iluminasi yang sangat beragam, dan masing-masing daerah memiliki ciri khas sendiri. Iluminasi biasanya dicirikan dengan (1) pola dasar, (2) motif hiasan, dan (3) warna. Iluminasi lazimnya menghias tiga bagian Al-Qur'an, yaitu di awal, tengah, dan akhir Al-Qur'an. Dalam hal kaligrafi, keunikan mushaf Nusantara di antaranya tampak dalam karakter “kaligrafi berhias” atau “kaligrafi floral”, yaitu komposisi kaligrafi yang bermotif tetumbuhan. Kreativitas tulisan tersebut dituangkan khususnya pada kepala-kepala surah. Unsur kreativitas lokal itu, baik dalam iluminasi maupun kaligrafi, berkembang sangat leluasa dan berkarakter khas, bahkan dalam bentuk makhluk "zoomorphic" seperti Macan Ali khas Cirebon.
 Mushaf dari Sumedang, Jawa Barat, dengan gambar Macan Ali. (Courtesy of James Bennett)
Penyalinan Al-Qur'an secara manual terus berlangsung sampai akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 yang berlangsung di berbagai kota atau wilayah penting masyarakat Islam masa lalu, seperti Aceh, Riau, Padang, Palembang, Banten, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, Madura, Lombok, Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Makassar, Ambon, dan Ternate. Warisan penting masa lalu tersebut kini tersimpan di berbagai museum, perpustakaan, pesantren, ahli waris, dan kolektor, dalam jumlah yang masih cukup banyak.
Pada abad ke-19, dengan berkembangnya teknologi percetakan litografi (cetak batu), penyalinan Al-Qur'an di Nusantara secara tradisional pelan-pelan mulai ditinggalkan, dan beralih pada Al-Qur'an cetak. Al-Qur'an cetak awal (early printed Qur'an) berasal dari India, Singapura dan Palembang, sejak pertengahan abad ke-19, di samping Turki dan Mesir. Namun, karena distribusi Al-Qur'an cetak awal pada waktu itu tidak merata di seluruh wilayah Nusantara, penyalinan Al-Qur'an secara manual diperkirakan masih berlangsung hingga penghujung abad ke-19, atau tahun-tahun awal abad ke-20. Sejak saat itu, seiring dengan perkembangan teknologi percetakan yang sangat pesat, penyalinan Al-Qur'an secara manual ditinggalkan, dan tradisi seni Mushaf yang telah berlangsung selama berabad-abad di Nusantara bisa dikatakan telah terhenti.
Setelah hampir satu abad terhenti, sejak akhir abad ke-19, era baru dalam kreativitas seni mushaf tumbuh kembali sejak pembuatan Mushaf Istiqlal pada tahun 1991, yang diprakarsai oleh beberapa ahli dari ITB Bandung, seperti Mahmud Buchari, Prof. AD Pirous, Ir. Ahmad Noe’man, dan beberapa sarjana serupa lainnya. Pembuatan Mushaf Istiqlal itu berbarengan dengan penyelenggaraan Festival Istiqlal tahun 1991 dan 1995 di Jakarta. Mulai saat itu, gairah dalam pembuatan mushaf indah tampak tumbuh kembali, dan sampai saat ini telah ada beberapa mushaf, dalam bentuk naskah asli dan cetakan, yaitu Mushaf Sundawi (prakarsa Pemda Jawa Barat, 1997), Mushaf at-Tin (prakarsa keluarga mantan Presiden Soeharto untuk mengenang Ibu Tien, 2000), Mushaf Jakarta (prakarsa Pemda DKI Jakarta, 2002), Mushaf Kalimantan Barat (prakarsa Pemda Kalbar, 2003), dan Mushaf al-Bantani (prakarsa Pemda Banten, 2010). Semangat itu juga melahirkan gagasan untuk merekonstruksi dan memodifikasi mushaf lama seperti Mushaf Karaton Yogyakarta Hadiningrat (2011) yang didasarkan pada sebuah mushaf pusaka keraton.
Berbeda dengan seni mushaf pada zaman dahulu yang keseluruhannya dibuat secara manual, “mushaf-mushaf kontemporer” ini dibuat dengan memanfaatkan teknologi komputer. Namun, keduanya sama-sama indah, mencerminkan kekayaan khazanah budaya bangsa Indonesia.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar