Kamis, 12 April 2012

Tradisi Mushaf di Lombok

Tradisi Mushaf Al-Qur’an di Lombok
[Ali Akbar - aliakbarkaligrafi@yahoo.com

Artikel ini bisa juga diunduh di: http://academia.edu/3092390/Tradisi_penyalinan_mushaf_Al-Quran_di_Lombok
 
Tulisan singkat ini akan memfokuskan pada tradisi mushaf di Lombok, namun pada bagian awal akan menampilkan tradisi mushaf kawasan ‘tetangganya’ di sebelah timur, yaitu Sumbawa dan Bima, yang masih merupakan satu provinsi, Nusa Tenggara Barat. Beberapa mushaf dari kedua daerah ini, yang pada zaman dahulu merupakan kesultanan, menjadi bahan bandingan yang penting untuk melihat keragaman tradisi mushaf dari kawasan ini.
Koleksi Museum Negeri Nusa Tenggara Barat, Mataram.
Bagian akhir tulisan ini akan melihat tradisi di Lombok, terkait dengan penyimpanan mushaf, dan kebiasaan membaca Al-Qur’an dengan rehal.

Mushaf dari Kerajaan Sumbawa dan Kerajaan Bima
Sejauh yang dapat ditelusuri hingga kini, terdapat lima buah mushaf Al-Qur’an di tangan keturunan keluarga Kesultanan Sumbawa di Sumbawa Besar. Satu buah mushaf dengan iluminasi indah ditulis oleh Muhammad bin Abdullah al-Jawi al-Buqisi, selesai ditulis pada hari Ahad, 28 Zulqa’dah 1199 H (2 Oktober 1785) pada masa Sultan Muhammad Iqamuddin bin Sultan Muhammad Abdurrahman. Satu buah mushaf lainnya ditulis oleh Abdurrahman bin Ayub bin Abdul Baqi as-Sumbawi, selesai ditulis pada hari Kamis, 24 Muharam 1254 H (19 April 1838). Mushaf lainnya ditulis oleh Abdurrahman bin al-Marhum Musa as-Sumbawi, selesai ditulis di Mekah, pada Jumat (tanpa tanggal), bulan Sya’ban 1280 H (Januari/Februari 1864). Kaligrafi mushaf ini indah, menggunakan “ayat pojok”, namun sudah tidak lengkap 30 juz. Semua mushaf dari Kerajaan Sumbawa menggunakan kertas Eropa, dengan kaligrafi dan iluminasi yang cukup indah.

 
Mushaf Kesultanan Sumbawa, selesai ditulis pada Ahad, 28 Zulqa’dah 1199 H (2 Oktober 1785).

Mushaf Kesultanan Sumbawa, selesai ditulis pada Kamis, 24 Muharam 1254 H (19 April 1838).

Mushaf tulisan tangan dari Kerajaan Bima ada dua buah, yaitu La Nontogama (berarti “jalan agama”), saat ini dalam koleksi Museum Samparaja di Bima, dan La Lino (berarti “yang berkilau”) yang saat ini dalam koleksi Bayt Al-Qur’an & Museum Istiqlal, Jakarta. Kedua mushaf ini masih lengkap 30 juz, menggunakan kertas Eropa. Namun ada perbedaan karakter yang menonjol pada kedua mushaf ini. Dilihat dari iluminasinya, La Nontogama adalah “keluarga” mushaf Sulawesi Selatan, sedangkan La Lino adalah “keluarga” mushaf Terengganu dari pantai timur Semenanjung Malaysia. Adanya ‘pengaruh’ Sulawesi Selatan masuk akal, karena Pulau Sumbawa diislamkan oleh Kerajaan Gowa, pada abad ke-17, dan sejak itu ada kedekatan budaya di antara kedua wilayah tersebut. Adapun mushaf La Lino yang memiliki iluminasi sangat indah, dengan detail yang luar biasa halus, diduga didapatkan oleh Kerajaan Bima sebagai hadiah dari Kerajaan Terengganu. Sejak abad ke-19, juga sebelumnya, Kerajaan Terengganu dikenal luas di Nusantara sebagai penghasil naskah-naskah beriluminasi indah.
Mushaf La Nontogama, koleksi Museum Samparaja, Bima.

Mushaf La Lino dari Kesultanan Bima, koleksi Bayt Bayt Al-Qur’an & Museum Istiqlal.

Beberapa Ciri Mushaf Lombok
Mushaf-mushaf yang menjadi bahan kajian singkat ini adalah koleksi beberapa lembaga dan perorangan. Semuanya berjumlah delapan buah, disebut dengan huruf dari A hingga H. Kedelapan buah mushaf ini kiranya dapat mewakili tradisi mushaf di Lombok, atau paling tidak, dapat memberikan sekadar gambaran bagi tradisi yang ada. 
 
Mushaf A, koleksi Museum Negeri NTB, Mataram.

Mushaf B, koleksi Museum Negeri NTB, Mataram.

Mushaf C, koleksi Museum Negeri NTB, Mataram.

Mushaf D, koleksi Museum Negeri NTB, Mataram.

Mushaf E, milik “Masjid Pusaka”, Desa Ketangga, Selaparang, Pringgabaya, Lombok Timur.
  
 Mushaf F, milik Amak Nurmalih, Sapit, Lombok Timur.


Mushaf G, milik Amak Amat, Monjok, Kebondaya, Mataram.

Mushaf H, koleksi Art Gallery of South Australia, Adelaide, Australia.
 
Mushaf A, B, C, D adalah koleksi Museum Negeri Nusa Tenggara Barat di Mataram. Keempat mushaf ini merupakan sebagian dari 15 mushaf Lombok koleksi museum pemerintah ini. Mushaf E adalah ‘koleksi’ “Masjid Pusaka” Desa Ketangga, Selaparang, Kecamatan Pringgabaya, Lombok Timur. Mushaf F adalah milik Amak Nurmalih, Desa Sapit, Lombok Timur. Mushaf G adalah milik Amak Amat, Desa Monjok, Kebondaya, Mataram. Sedangkan Mushaf H adalah koleksi Michael Abbott, Adelaide, Australia.
Bila kita perhatikan, semua mushaf ini memiliki halaman yang kotor di pojok bawah ujung kiri dan kanan. Itu menandakan bahwa semua mushaf ini dahulu sering dibaca oleh pemiliknya, dan benar-benar hidup di tengah-tengah masyarakatnya. Ini sering berbeda dengan sebagian mushaf indah dari lingkungan kerajaan yang memiliki pojok halaman bersih, yang mengesankan bahwa mushaf tersebut, setelah selesai ditulis, kemungkinan jarang dibaca. Sedikit penanda ini akan mempertegas keyakinan kita akan hidupnya suatu tradisi mushaf dan tradisi baca Al-Qur’an pada zaman dahulu, khususnya di Lombok.
Kedelapan mushaf ini menggunakan kertas dluwang (kulit kayu), ini membuktikan bahwa pengaruh Jawa sangat kuat dalam mushaf-mushaf Lombok. Inilah yang membedakan juga dengan mushaf-mushaf dari Kesultanan Sumbawa dan Bima yang semuanya menggunakan kertas Eropa. Lombok mendapat pengaruh dari Jawa, sedangkan kedua kesultanan itu mendapat pengaruh dari, khususnya, Sulawesi Selatan.
Perbedaan tradisi mushaf itu juga tampak dalam pola iluminasinya. Kedelapan mushaf Lombok menggunakan pola-pola segitiga di bagian atas, samping, dan bawah. Hal ini juga jamak dalam mushaf-mushaf dari Jawa – meskipun di Jawa jenis pola lainnya juga banyak. Dalam mushaf-mushaf Lombok, iluminasi tengah mushaf terdapat pada awal Surah al-Kahf – hal yang sama juga terjadi dalam mushaf-mushaf di Jawa.
Warna-warna yang digunakan pada umumnya adalah merah, coklat, kuning, biru, dan hitam. Warna-warna tersebut tampaknya berasal dari pewarna alami. Adapun jenis motif yang digunakan adalah floral dan geometris sederhana. Iluminasi mushaf-mushaf Lombok yang cukup indah menggunakan motif floral, seperti tampak pada Mushaf D, E, F, dan G.
Dalam hal kaligrafi, pada umumnya mushaf-mushaf Lombok cukup sederhana. Ini menandakan bahwa kebanyakan mushaf tersebut bukan disalin oleh penyalin profesional, tetapi oleh para santri, atau ahli agama yang kurang memiliki keterampilan menulis halus. Diperkirakan, kondisi ini terjadi di luar sistem kerajaan. Hal ini, sekali lagi, berbeda dengan mushaf-mushaf dari Kesultanan Sumbawa dan Bima, yang sebagian mempunyai kaligrafi yang indah dan tampak ditulis oleh penyalin terlatih. Meskipun demikian, tidak semua mushaf dari Lombok mempunyai kaligrafi sederhana. Mushaf H, misalnya, yang saat ini dalam koleksi perorangan di Australia, memiliki kaligrafi yang cukup bagus, yang tentu ditulis oleh seorang penyalin berpengalaman. Semua mushaf yang dikaji – sebagaimana pada umumnya mushaf kuno Nusantara lainnya – menggunakan rasm imla’i.
Mushaf-mushaf Lombok dijilid dengan benang yang cukup rapi. Adapun sampulnya – pada sebagian mushaf yang masih bersampul – menggunakan kulit binatang, tanpa dekorasi.

Penyimpanan Mushaf
Di Lombok, mushaf biasanya disimpan di pare (sebagian menyebut sampare), suatu tempat di bagian atas dinding rumah. Ada juga yang menyimpannya di loteng atau di bawah atap rumah. Karena disimpan di bagian atas rumah, bagian luar mushaf-mushaf Lombok sering tampak hitam, karena terkena asap dapur. Namun tempat itu dianggap paling aman, karena tidak ada ngengat atau rayap, sehingga dapat memperpanjang usia naskah.
 
Kotak mushaf, koleksi Museum Negeri NTB, Mataram.

 
 Kotak mushaf, koleksi Museum Negeri NTB.

 
Kotak mushaf berukir, koleksi Museum Negeri NTB. 

Kotak mushaf, koleksi Masjid Pusaka, Desa Ketangga, 
Selaparang, Pringgabaya, Lombok Timur, NTB.

Agar lebih aman ketika menyimpan, mushaf biasanya ditempatkan di dalam sebuah kotak, yang terbuat dari anyaman bambu atau kayu. Kotak yang terbuat dari anyaman bambu kadang-kadang diberi penguat di bagian atas dan bawahnya, dan juga diberi tali agar mudah dijinjing. Bagi kalangan yang lebih mampu, kotak mushaf yang terbuat dari kayu diukir bagian luarnya, sehingga menambah keindahan. Motif yang digunakan biasanya floral, atau kawung. Kotak mushaf bisa juga digantung, dengan pengait kawat di bagian atas. Papan di bagian samping kotak dapat dibuka dengan ditarik, untuk mengambil mushaf.
 
Rehal, koleksi Museum Negeri NTB.

Benda budaya lainnya terkait dengan tradisi mushaf di Lombok adalah rehal, yaitu tempat untuk membaca Al-Qur’an. Rehal terbuat dari kayu yang dibelah. Rehal yang indah diukir pada sisi luarnya, dan biasanya dilengkapi dengan kaligrafi La yamassuhu illa al-mutahharun (Tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan) (Q. 56: 79).[]
 
Catatan: Penulis mengucapkan terima kasih kepada James Bennett yang memungkinkannya mengakses mushaf Lombok koleksi Michael Abbott, Adelaide, Australia, kepada Asep Saefullah dan Dr Ahmad Rahman yang membagi informasi dan foto tentang mushaf dari Sumbawa, juga Alfan Firmanto yang berbaik hati membagi foto mushaf dari Lombok Timur, serta kepada Dr Jamaluddin atas informasinya mengenai penyimpanan mushaf.

Daftar Pustaka
Saefullah, Asep, “Kesucian dalam Keindahan: Seni Mushaf Al-Qur’an dari Pulau Sumbawa”, Lektur 3 (2) 2005: 234-260.
M. Syatibi AH, “Menelusuri Al-Qur’an Tulisan Tangan di Lombok” dalam Fadhal AR Bafadal dan Rosehan Anwar (ed.), Mushaf-mushaf Kuno di Indonesia (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, 2005, hlm. 142-168

Tidak ada komentar:

Posting Komentar