Rabu, 08 Februari 2012

Tradisi Penyalinan al-Qur'an di Aceh

Pendahuluan
Penulisan mushaf Al-Qur’an telah dimulai sejak abad ke-7 M (abad pertama Hijri). Empat atau lima salinan pertama Al-Qur’an pada masa Khalifah Usmān bin ‘Affān yang dikirim ke beberapa wilayah Islam, pada tahun 651, selanjutnya menjadi naskah baku bagi penyalinan Al-Qur’an—disebut Rasm Usmānī. Dari naskah itulah kemudian, pada abad-abad selanjutnya, semua salinan Al-Qur’an dibuat.
Salah satu mushaf koleksi Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy, Banda Aceh.
Di Nusantara, penyalinan Al-Qur'an diperkirakan dimulai dari Aceh, sejak sekitar abad ke-13, ketika Pasai, di pesisir ujung timur laut Sumatra, menjadi kerajaan pertama di Nusantara yang memeluk Islam secara resmi melalui pengislaman sang raja, yaitu Sultan Malik as-Saleh. Kemunculannya sebagai kerajaan Islam sejak awal atau pertengahan abad ke-13 merupakan hasil dari proses islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi para pedagang Muslim sejak abad ke-7, dan seterusnya. Meskipun demikian, kita tidak menemukan Al-Qur’an dari abad ke-13 itu, dan Al-Qur’an tertua dari kawasan Nusantara yang diketahui sampai saat ini berasal dari akhir abad ke-16. Penyalinan Al-Qur’an secara tradisional berlangsung sampai akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 yang berlangsung di berbagai kota atau wilayah penting masyarakat Islam masa lalu, seperti Aceh, Riau, Padang, Palembang, Banten, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, Madura, Lombok, Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Makassar, Ternate, dan lain-lain. Warisan penting masa lampau tersebut kini tersimpan di berbagai perpustakaan, museum, kolektor, pesantren, masjid, serta ahli waris, dan paling banyak berasal dari abad ke-19.
Berbagai sisi penting mushaf kuno Nusantara sampai saat ini belum banyak diteliti,[1] baik oleh penulis Barat maupun lokal. Aspek-aspek mushaf, baik menyangkut sejarah penulisannya, rasm, qiraat, terjemahan bahasa Melayu atau bahasa daerah lainnya, maupun sisi visualnya, yaitu iluminasi[2] dan kaligrafi, masih belum banyak yang diungkap. Beberapa buku dan katalog pameran Al-Qur’an atau seni Islam hanya sedikit menyinggung mushaf-mushaf dari Asia Tenggara. Istilah “seni Islam” seakan-akan hanyalah warisan seni dari kawasan Afrika Utara, Turki, Asia Tengah, Iran, dan India. Dalam perbincangan seni Islam, wilayah Nusantara masih cenderung diabaikan, dan tampaknya belum dianggap sebagai bagian yang penting dari Dunia Islam.

Khazanah Al-Qur’an Nusantara
Penyalinan Al-Qur’an dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat Islam, baik para penyalin profesional, santri, maupun para ulama. Pada awal abad ke-19 Abdullah bin Abdul Kadir al-Munsyi memperoleh uang dari menyalin Al-Qur’an. Para santri di berbagai pesantren menyalin Al-Qur'an terutama untuk kepentingan pengajaran. Sementara, beberapa ulama terkenal juga dikatakan pernah menyalin Al-Qur'an. Penyalinan juga dilakukan oleh para ulama atau pelajar yang tengah memperdalam ilmu agama di Mekah. Pada abad ke-16 sampai 19 M, Mekah selain berfungsi sebagai tempat menunaikan haji, juga merupakan pusat studi Islam.
Dewasa ini, naskah-naskah Al-Qur'an Nusantara banyak disimpan di lembaga-lembaga pemerintah di Malaysia, Indonesia, Belanda, serta beberapa tempat lain. Namun, di antara kekayaan Al-Qur’an Nusantara itu, naskah-naskah di Indonesia diperkirakan tetap merupakan yang terbanyak, dimiliki baik oleh pribadi, museum, masjid, maupun pesantren. Inventarisasi dan penelitian mengenai Al-Qur’an yang dilakukan di berbagai daerah oleh Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, sejak tahun 2003 hingga 2005, serta data lainnya, memperlihatkan bahwa naskah Al-Qur’an di Indonesia dapat dikatakan masih cukup banyak, yaitu sekitar 455 naskah. Keberadaan Al-Qur’an di berbagai wilayah dan lapisan masyarakat itu menunjukkan bahwa penyalinanan Al-Qur’an pada masa lampau cukup merata di Nusantara.

Al-Qur’an Aceh dalam berbagai koleksi dunia
Al-Qur'an dari Aceh—yang mudah dikenali dari bentuk, motif dan warna hiasannya—kini telah menjadi koleksi berbagai lembaga di dalam dan luar negeri. Inventarisasi semua koleksi mushaf Aceh sementara ini berjumlah 152 mushaf.

Koleksi Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy, Banda Aceh.

Di Aceh, tiga lembaga penting yang mengoleksi sejumlah naskah Al-Qur'an, yaitu Museum Negeri, Jl. Sultan Alauddin Syah, Banda Aceh, mengoleksi sekitar 70-an naskah Al-Qur'an, 32 di antaranya Al-Qur'an 30 juz; Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy, Jl. Sudirman no.20 Banda Aceh, mengoleksi 20 Al-Qur'an; dan Dayah Tanoh Abee, Seulimum, Aceh Besar, menurut informasi mengoleksi 23 buah. Selain tiga lembaga tersebut, di Aceh, sejumlah Al-Qur'an juga dimiliki oleh perorangan yang merupakan ahli waris keluarga. Di Jakarta, Perpustakaan Nasional RI mengoleksi 7 buah Al-Qur'an Aceh. Di Masjid Agung Singaraja, Bali, terdapat sebuah mushaf Aceh.
Di luar negeri, Perpustakaan Nasional Malaysia, Kuala Lumpur, mengoleksi 4 buah Al-Qur'an Aceh; Islamic Arts Museum Malaysia, Kuala Lumpur, mengoleksi satu buah; Yayasan Restu 2 buah; dan Museum Seni Asia, 1 buah. Sementara di negeri Belanda, karena perjalanan sejarah, Universitas Leiden mengoleksi 7 buah Al-Qur'an Aceh; Koninklijk Instituut voor de Tropen, Amsterdam, mengoleksi 7 buah; Rijkmuseum voor Volkenkunde, Leiden, mengoleksi 6 buah; dan Nijmeegs Volkenkundig Museum, Universiteitsbibliotheek van Amsterdam, Universiteitsbibliotheek, Utrecht, serta Wereldmuseum, Rotterdam, masing-masing mengoleksi satu buah Al-Qur'an dengan hiasan khas Aceh. Di luar data ini, baik di dalam mapun di luar negeri, diperkirakan masih banyak terdapat Al-Qur'an dari Aceh yang tidak tercatat.

Gaya iluminasi khas Aceh
Iluminasi (illumination)—dari akar kata illuminate, berarti to light up, to make bright, to decorate—yaitu hiasan naskah yang bersifat abstrak, tidak fungsional menjelaskan teks seperti ilustrasi, dan berfungsi semata “memperterang”, atau sebagai “penerang” bagi teks yang disajikan. Di dalam Al-Qur'an, iluminasi biasanya menghiasi bagian awal, tengah, dan akhir Al-Qur'an. Hiasan di ketiga tempat ini merupakan bagian yang sangat penting dalam seni naskah Al-Qur'an, dan terdapat di hampir seluruh Al-Qur'an Nusantara. Ragam hias yang digunakan terutama adalah ragam hias floral (tetumbuhan) dan geometris. Namun, berbeda dengan Al-Qur'an dari negeri-negeri Islam di kawasan Timur Tengah, Afrika Utara, dan Persia yang banyak menggunakan ragam hias geometris, di samping floral, Al-Qur'an Nusantara kebanyakan menggunakan ragam hias floral, dan tidak terlalu banyak ragam geometris.
Al-Qur’an dari Aceh memiliki gaya khas, dan biasanya mudah diidentifikasi dengan jelas melalui pola dasar, motif hiasan, dan pewarnaannya. Iluminasi khas itu biasanya terdapat di bagian awal, tengah, dan akhir Al-Qur’an. Iluminasi dua halaman simetris di awal Al-Qur'an berisi Surah al-Fatihah dan awal Surah al-Baqarah. Tradisi pemberian iluminasi di bagian ini terdapat di dalam Al-Qur'an dari berbagai daerah Nusantara, dan merupakan tradisi penting penyalinan Al-Qur'an di dunia Islam pada umumnya.
Iluminasi di bagian tengah Al-Qur'an, khususnya dalam tradisi penyalinan Al-Qur'an di Aceh, hampir bisa dipastikan berisi permulaan juz ke-16. Hal ini berbeda dari tradisi penyalinan Al-Qur'an di Nusantara lainnya, karena iluminasi tengah Al-Qur'an, selain berisi permulaan juz ke-16 itu, kadang-kadang juga berisi permulaan Surah al-Isra’ atau permulaan Surah al-Kahf. Namun, sebagaimana tradisi iluminasi Al-Qur'an di dunia Islam, demikian juga dan Nusantara, tidak semua naskah Al-Qur'an Aceh beriluminasi di bagian tengah. Ada sebagian Al-Qur'an yang hanya beriluminasi di awal dan akhir naskah.
Dalam tradisi Aceh, naskah-naskah Al-Qur'an yang beriluminasi di awal juz ke-16 banyak yang mengesankan seakan-akan Al-Qur'an itu dibagi menjadi dua bagian, juz 1-15 dan juz 16-30, meskipun kedua bagian itu selalu dalam satu jilid. Pembagian itu kadang-kadang tampak cukup tegas, karena di akhir juz 15 banyak yang ditandai dengan semacam garis khusus dalam bentuk segi tiga, bahkan kadang-kadang dibubuhi kata tamm (selesai, tamat). Adapun iluminasi di akhir Al-Qur'an, sama dengan tradisi lain di Nusantara dan dunia Islam, berisi Surah al-Falaq dan Surah an-Nas, kedua surah terakhir Al-Qur'an.
Beberapa gaya iluminasi terpenting seni mushaf Nusantara yang saat ini sudah teridentifikasi—berdasarkan kajian dan observasi—di antaranya adalah gaya Aceh, Bugis, Jawa, Lombok, Banten, serta Patani dan Terengganu di Pantai Timur Semenanjung Malaysia.
Pola dasar iluminasi Al-Qur'an khas Aceh biasanya dicirikan dengan (1) bentuk persegi, dengan garis vertikal di sisi kanan dan kiri, yang menonjol ke atas dan ke bawah, biasanya dalam bentuk lancip atau lengkungan; (2) bentuk semacam kubah atau mahkota di bagian atas, bawah, dan sisi luar; (3) hiasan semacam kuncup di ujung masing-masing kubah tersebut; dan (4) hiasan sepasang “sayap” kecil di sebelah kiri dan kanan halaman iluminasi (lihat gambar pada lampiran).
Iluminasi khas tersebut tidak hanya terdapat dalam Al-Qur’an, namun juga dalam naskah-naskah keagamaan selain Al-Qur'an, dan ada pula dalam naskah hikayat, namun dengan struktur pola yang berbeda. Pola dan motif sulur dalam iluminasi Aceh bervariasi, namun secara umum memperlihatkan standar pola tertentu, dan dalam pewarnaan dapat dikatakan selalu seragam, sehingga mudah dikenali.
Warna yang dipakai terutama adalah merah, kuning, hitam, dan putih, namun tidak menggunakan tinta atau cat putih, tetapi warna kertasnya itu sendiri. Warna lain yang digunakan pula, meskipun jarang, adalah biru. Warna ini khususnya digunakan dalam pola iluminasi mushaf Aceh yang berbeda.

Kaligrafi berhias
Meskipun Aceh telah memiliki tradisi yang panjang dalam penyalinan naskah, dan huruf Arab telah dipakai selama berabad-abad, sejauh ini belum dapat diidentifikasi adanya suatu gaya tulisan khas Aceh yang bisa dianggap baku. Sebenarnya ini merupakan gejala umum di Nusantara, karena di kawasan terjauh dari pusat Islam ini, tulisan Arab tampaknya tidak pernah benar-benar menjadi suatu “disiplin” seni tulis-menulis—berbeda dengan kawasan dunia Islam pada umumnya. Meskipun demikian, di Aceh terdapat suatu gaya tulisan khas yang sangat unik. Dalam naskah selain Al-Qur'an biasanya muncul pada kata kumulai atau al-kalam, yang sering menjadi kata pertama dalam suatu teks. Kata pembuka itu memperoleh perhatian khusus dari penyalin, dan huruf kaf-nya sering dihias sedemikian rupa, dan diberi warna merah.
 Kaligrafi floral "sumun" pada sebuah mushaf Aceh.

 
 Gaya kaligrafi khas Aceh?

Dalam naskah Al-Qur'an, kaligrafi unik khas Aceh muncul pada tulisan juz, nisf, rubu’, dan sumun yang terletak di sisi luar halaman teks Al-Qur'an. Dalam sebagian naskah, tulisan yang merupakan “tanda pembacaan Al-Qur'an” itu tampak tidak mengutamakan keterbacaan, namun lebih mengedepankan ekspresi artistik tertentu, sebagai bagian dari dekorasi mushaf. Dilihat dari segi huruf, komposisi tulisan itu tidak mudah dibaca. Namun, tampaknya memang bukan keterbacaan itu yang ingin dicapai penulisnya, melainkan sekadar memberikan tanda bahwa di tempat tersebut terdapat tanda pembacaan, dan itu dilakukan dengan suatu komposisi artistik tertentu, sesuai dengan motif hiasan floral khas Aceh. Komposisi itu sangat mungkin digubah oleh iluminator naskah, bukan oleh penyalin teks Al-Qur'annya.*


Daftar Pustaka
Ambary, Hasan Muarif. 1998. Menemukan Peradaban. Jakarta: Logos.
al-A‘zamī, M.M. 2005. Sejarah Teks Al-Qur'an dari Wahyu sampai Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Jakarta: Gema Insani.
Bafadal, Fadhal AR dan Rosehan Anwar. 2005. Mushaf-mushaf Kuno di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan.
Behrend, T.E. 1996. “Textual Gateways: The Javanese Manuscript Tradition” dalam Ann Kumar and John H. McGlynn. 1996. Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia. Jakarta: Lontar Foundation - New York and Tokyo: Weatherhill, Inc.
———. 1998. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 4: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia - Ecole française d’Extrême-Orient.
Berg, L.W.C. van den, and R. Friederich. 1873. Codicum Arabicorum in Bibliotheca Societatis Artium et Scientiarum quae Bataviae floret asservatorum catalogum. Batavia: Bruining et Wijt; Hagae Comitis: M. Nijhoff.
Chambert-Loir, Henri dan Oman Fathurrahman. 1999. Khazanah Naskah. Jakarta: Ecole française d’Extrême-Orient dan Yayasan Obor Indonesia.
Derman, M. Ugur. 1998. Letters in Gold: Ottoman Calligraphy from the Sakip Sabanci Collection, Istanbul. New York: The Metropolitan Museum of Art.
Gallop, Annabel Teh. 2002. “Seni Hias Manuskrip Melayu,” dalam Warisan Manuskrip Melayu. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia.
———. 2004. “An Acehnese Style of Manuscript Illumination.” Archipel, 68: 193-240.
———. 2004. “Beautifying Jawi: Between Calligraphy and Palaeography.” [Makalah dalam Second International Conference on Malay Civilization: Malay Images, Universiti Pendidikan Sultan Idris, Legend Hotel, Kuala Lumpur, 26-28 Februari 2004].
Gallop, Annabel Teh, and Ali Akbar. 2006. “The Art of the Qur’an in Banten: Calligraphy and Illumination.” Archipel 72.
Lings, Martin, and Yasin Hamid Safadi. 1976. The Qur’an. London: World of Islam Festival Trust.
Porter, Venetia, and Heba Nayel Barakat. 2004. Mightier than the Sword. Arabic Script: Beauty and Meaning. Islamic Art Museum Malaysia.
Ronkel, Ph.S. van. 1913. Supplement to the catalogue of the Arabic manuscripts preserved in the Museum of the Batavia Society of Arts and Sciences. Batavia: Albrecht.
Safadi, Yasin Hamid. 1978. Islamic Calligraphy. London: Thames and Hudson.
Voorhoeve, P. 1980. Handlist of Arabic Manuscript in the Library of the University of Leiden and other Coolections in the Netherlands. (2nd Enlarged Ed.) The Hague: Leiden University Press.
Zain, Dzulhaimi Md. et al. 2007. Ragam Hias al-Qur’an di Alam Melayu. Kuala Lumpur: Utusan Publication.

[1] Kajian mengenai mushaf kuno belum banyak dilakukan para sarjana Indonesia. Sampai saat ini baru ada dua kajian akademis yang membahas mushaf Indonesia, keduanya mengenai Mushaf Istiqlal, yaitu (1) Ornamen Nusantara: Studi tentang Ornamen Mushaf Istiqlal yang ditulis oleh M. Gazali untuk disertasi di IAIN Jakarta, 1998; dan (2) Ketika Mushaf Menjadi Indah, ditulis oleh M. Ibnan Syarif,  (Semarang: Aini, 2003) sebuah buku yang berasal dari tesisnya di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (ITB). lama lima tahun, mpai 1995.dung sejakndung.Mushaf Istiqlashaf, keduanya mengenai Mushaf Istiqlal, yaitu ______________________Mushaf Istiqlal dibuat selama lima tahun, sejak tahun 1991 sampai 1995 dengan tenaga ahli iluminasi dari para sarjana ITB. Tiga tokoh yang berpengaruh dalam pembuatan mushaf ini yaitu A.D. Pirous, Mahmud Buchari, dan Ahmad Nu’man.
[2] Lihat Gallop, “Seni Mushaf …”, h. 121-143. Kajian lainnya, meskipun tidak sepenuhnya mengenai iluminasi mushaf, lihat Gallop, “An Acehnese Style of Manuscript Illumination”, Archipel, 68, Paris: 2004, h. 193-240. 

Artikel terkait: 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar